Makassar || Daftar Hitam News.Id — Kinerja Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel) dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) kembali menuai sorotan publik.
Pasalnya, hingga mendekati akhir tahun 2025, eksekusi terhadap Silfester Matutina, terpidana kasus pencemaran nama baik dan fitnah terhadap mantan Wapres H. Jusuf Kalla, belum juga dilaksanakan, meski putusan sudah inkrah sejak 2019.
Kasus ini bermula pada tahun 2017 saat tim hukum Jusuf Kalla melaporkan Silfester ke Bareskrim Mabes Polri atas dugaan fitnah dan penghinaan. Proses hukum berjalan hingga ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang pada tahun 2018 memvonis Silfester bersalah dan menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara.
Namun di tingkat banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, hukuman diperberat menjadi 1 tahun 6 bulan penjara, yang kemudian dikuatkan oleh Mahkamah Agung pada 2019. Dengan demikian, perkara tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Ironisnya, meski telah diputuskan secara final oleh lembaga peradilan tertinggi, Silfester Matutina belum pernah dieksekusi oleh pihak kejaksaan.
Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar di publik, terlebih karena yang bersangkutan masih aktif tampil di ruang publik dan kegiatan politik, seolah hukum tak lagi berlaku untuk semua.
Presiden TIB: “Jika Kejaksaan Tak Mampu, Kami Akan Jalankan Hukum Adat”
Menanggapi fenomena ini, Presiden Toddopuli Indonesia Bersatu (TIB) mengeluarkan pernyataan keras yang menyebut bahwa Kejari Jaksel dan Kejagung RI telah gagal menjalankan amanah hukum dan melanggar asas kesetaraan di depan hukum.
“Kami menilai Kejaksaan tidak mampu, atau tidak mau, menjalankan putusan pengadilan yang sudah inkrah. Bila rakyat kecil yang divonis, eksekusinya bisa dilakukan dalam dua hari. Tapi mengapa terhadap Silfester Matutina, enam tahun berlalu, tidak ada tindakan hukum sama sekali?”tegas Presiden Toddopuli Indonesia Bersatu (TIB), Minggu (26/10/2025).
Presiden TIB juga menegaskan bahwa pihaknya akan memberikan tenggat waktu kepada pihak kejaksaan untuk menjalankan eksekusi sesuai amar putusan Mahkamah Agung.
Jika tidak ada langkah konkret, kami akan mencari untuk mengeksekusi setelah aksi di Mabes Polri dan Gedung Merah Putih KPK pada kasus korupsi proyek Jalan Sabbang–Tallang, Kabupaten Luwu Utara, tahun 2020.
“Kami masyarakat Bugis-Makassar hidup dengan prinsip Siri’ na Pacce, harga diri dan keadilan adalah segalanya. Bila negara gagal menegakkan hukum, maka kami akan mengambil langkah hukum adat sesuai tradisi kami,” lanjutnya.
Beberapa media nasional seperti Tempo, CNN Indonesia, dan Harian Merah Putih juga mencatat bahwa Silfester Matutina hingga kini belum dieksekusi, meski vonisnya sudah final.
Bahkan muncul dugaan adanya “perlindungan khusus” atau “pengaruh politik” yang membuat pihak kejaksaan seolah enggan menindak terpidana tersebut.
Dalam berita Tempo.co edisi 14 Oktober 2025 disebutkan, bahwa Silfester Matutina masih tercatat aktif dalam kegiatan sosial dan bahkan menjadi salah satu pembicara publik, sementara putusan hukum terhadap dirinya tak kunjung dijalankan.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan serius di kalangan masyarakat hukum:
“Apakah Kejaksaan benar-benar independen, atau ada kekuatan tertentu yang membuat seorang terpidana bisa bebas begitu lama?”
Presiden TIB mengingatkan agar institusi hukum tak mempermainkan keadilan.
Menurutnya, lambannya eksekusi terhadap Silfester menjadi contoh buruk bagi wajah penegakan hukum Indonesia yang sudah terlalu sering tumpul ke atas.
“Negara ini punya banyak hukum, tapi yang kurang adalah keberanian menegakkannya. Hukum tidak boleh tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Kami akan terus menuntut keadilan untuk H. Jusuf Kalla sebagai simbol kehormatan masyarakat Sulawesi Selatan,” pungkasnya.
Kasus Silfester Matutina kini menjadi cermin buram penegakan hukum di Indonesia.
Ketika vonis inkrah tak kunjung dieksekusi, dan institusi penegak hukum memilih diam, maka rakyat berhak bertanya:
“Untuk siapa sebenarnya hukum ditegakkan di negeri ini?”
Redaksi : daftarhitamnews.Id
Editor : Galang
