Makassar || DaftarHitam News.id — Gugatan perdata bernilai Rp 200 miliar yang dilayangkan Menteri Pertanian Amran Sulaiman terhadap Majalah Tempo kini menjadi sorotan nasional.
Amran menggugat media investigatif tersebut dengan dalih Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atas pemberitaan bertajuk “Poles-Poles Beras Busuk” yang dianggap telah mencemarkan nama baik dirinya serta merugikan citra Kementerian Pertanian (Kementan).
Namun, langkah hukum yang ditempuh Mentan ini dinilai oleh banyak kalangan sebagai tindakan keliru secara hukum dan moral, serta berpotensi menekan ruang kebebasan pers yang merupakan pilar keempat demokrasi.
Dalam berkas gugatan yang terdaftar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Amran Sulaiman mendasarkan tuntutannya pada dalih Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
Ia menilai pemberitaan Tempo “tidak objektif” dan “merugikan reputasinya sebagai pejabat negara.”
Namun, pengamat hukum dan lembaga pers menilai dasar hukum tersebut tidak tepat. Sengketa antara pejabat publik dan media tidak dapat dikategorikan sebagai PMH, karena pers bekerja di bawah mandat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang memberikan hak dan perlindungan hukum kepada media selama menjalankan fungsi jurnalistik.
Pasal 15 UU Pers secara tegas mengatur bahwa sengketa pemberitaan harus diselesaikan melalui Dewan Pers, bukan dengan jalur pengadilan umum.
Sementara Pasal 18 ayat (1) menegaskan bahwa pihak yang menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana dengan hukuman penjara maksimal dua tahun dan/atau denda maksimal Rp 500 juta.
Rocky Gerung: Pejabat Negara Tak Bisa Berlindung di Balik Pencemaran Nama Baik
Filsuf hukum dan pengamat politik Rocky Gerung turut menyoroti gugatan tersebut. Dalam sejumlah video diskusi yang tersebar di kanal Rocky Gerung Official, “Forum Demokrasi”, dan “Ngopi Bareng RG”, ia menyebut tindakan Para Pejabat Publik yang Melaporkan Media Ke Ranah sebagai bentuk “ketidakpahaman pejabat publik terhadap demokrasi dan hukum pers.”
“Pencemaran nama baik itu tak berlaku bagi pejabat negara. Karena pejabat publik bukan pribadi yang diserang, tapi kebijakan dan kinerjanya yang dikritik,” ujar Rocky.
“Pejabat negara itu pelayan masyarakat. Kalau dikritik, itu bagian dari mekanisme kontrol sosial, bukan serangan pribadi. Karena mereka digaji dari uang rakyat,” tambahnya dalam video yang diunggah September 2024.
Menurut Rocky, penggunaan dalih PMH untuk menggugat media adalah bentuk penyalahgunaan hukum, yang mengancam kebebasan berpendapat dan transparansi publik.
“Kalau setiap pejabat memakai pasal pencemaran nama baik untuk melawan kritik, maka negara ini akan kehilangan jati dirinya sebagai demokrasi,” tegasnya.
Ketegangan di dunia maya berlanjut ke jalanan. Pada Selasa, 4 November 2025, aksi solidaritas bertajuk “Bela Tempo” yang digelar oleh jurnalis dan aktivis di depan ASS Building, gedung milik Amran Sulaiman di Jalan Urip Sumoharjo, Makassar, berujung ricuh.
Aksi yang awalnya berlangsung damai berubah tegang ketika sekelompok massa mengatasnamakan diri sebagai “Sahabat Tani” datang melakukan unjuk rasa tandingan. Mereka membawa spanduk mendukung Amran Sulaiman dan menuding media “menyebarkan fitnah.”
Bentrok verbal bahkan fisik sempat tak terhindarkan di area depan gedung. Aparat kepolisian yang berjaga turun tangan untuk melerai kedua kubu dan membubarkan massa.
Beberapa jurnalis di lokasi sempat menjadi korban intimidasi verbal dan dorongan fisik saat mencoba merekam insiden tersebut.
Aksi ini menambah panjang daftar ketegangan antara pemerintah dan media, khususnya di daerah asal Amran Sulaiman Sulawesi Selatan, yang kini menjadi pusat perhatian publik atas dinamika hubungan pejabat dan pers.
TIB: Mentan Keliru Gunakan Jalur Hukum, Media Bukan Musuh Negara
Presiden Toddopuli Indonesia Bersatu (TIB), Syafriadi Djaenaf Dg. Mangka, mengeluarkan pernyataan keras mengecam tindakan Mentan Amran Sulaiman.
Menurutnya, gugatan dengan dalih PMH terhadap media merupakan bentuk pembelokan hukum dan penyalahgunaan kekuasaan.
“Kami di TIB menilai gugatan ini adalah tindakan tidak elok dan keliru secara hukum publik,” ujar Syafriadi.
“Media bukan musuh negara. Mereka menjalankan perintah undang-undang untuk mengawasi pejabat publik yang bekerja menggunakan uang rakyat.”
Syafriadi menegaskan, bila Amran Sulaiman merasa dirugikan oleh pemberitaan, jalur yang benar adalah hak jawab atau klarifikasi yang diatur dalam Pasal 1 dan 15 UU Pers, bukan dengan menggugat secara perdata dalam jumlah fantastis.
“Gugatan Rp 200 miliar ini bisa disebut intimidatif, bukan korektif. Ini upaya mematikan kritik. Kami tidak akan diam, TIB akan mengawal kebebasan pers hingga tuntas,” tegasnya.
Kasus gugatan Mentan Amran Sulaiman terhadap Tempo bukan sekadar persoalan hukum antara pejabat dan media. Ia merupakan ujian bagi integritas lembaga peradilan, komitmen pejabat publik terhadap keterbukaan, dan konsistensi negara dalam melindungi kemerdekaan pers.
Sebagaimana dikatakan Rocky Gerung, pejabat publik tidak memiliki “privasi hukum” atas kritik, karena jabatan yang diemban adalah mandat rakyat.
Dan sebagaimana diingatkan TIB, media adalah pengawas kekuasaan bukan lawan politik.
Jika gugatan bernuansa PMH ini dibiarkan, maka ke depan setiap berita kritis dapat diganjar dengan gugatan miliaran, dan demokrasi pun akan kehilangan napasnya.
Redaksi : daftahitamnews.id
Editor : Galang
