Jakarta || Daftar Hitam News.Id — Publik dibuat heboh oleh kabar bahwa Presiden Prabowo Subianto tengah menimbang pergantian pucuk pimpinan Polri. Nama Wakapolri Komjen Pol Dedi Prasetyo disebut-sebut sebagai kandidat terkuat. Namun di balik rumor ini, pertanyaannya bukan sekadar “siapa Kapolri berikutnya”, melainkan “strategi politik apa yang sedang dimainkan Presiden?”.
Polri sebagai Instrumen Politik
Sejarah menunjukkan bahwa pergantian Kapolri tidak pernah lepas dari dinamika politik. Dari era Tito Karnavian, Idham Azis, hingga Listyo Sigit, selalu ada benang merah: kedekatan dengan Presiden dan kemampuan menjaga stabilitas politik menjadi faktor kunci.
Kini, di era Prabowo, tekanan sosial semakin besar. Tragedi kematian pengemudi ojek online, gesekan dalam demonstrasi, hingga kritik publik terhadap kinerja polisi menimbulkan pertanyaan: apakah Polri masih mampu meredam gejolak? Atau justru perlu figur baru untuk mengembalikan kepercayaan publik?
Dedi, Pilihan Aman atau Taruhan Politik?
Dedi Prasetyo bukan sekadar perwira tinggi biasa. Ia adalah mantan Kadiv Humas yang piawai mengelola opini publik, kini menjabat Wakapolri, dan dikenal dekat dengan elite politik. Figur seperti ini jelas menguntungkan bagi Presiden: komunikatif, loyal, dan sudah teruji menghadapi badai isu.
Namun ada sisi lain. Jika benar Dedi yang dipilih, Presiden Prabowo bisa dianggap bermain aman mengutamakan loyalitas ketimbang mendorong reformasi struktural di tubuh Polri. Sebaliknya, jika Presiden justru memilih figur lain yang lebih progresif, ini bisa dibaca sebagai sinyal perubahan arah kebijakan keamanan.
Fakta di lapangan menunjukkan belum ada surpres resmi yang masuk ke DPR. Baik Istana maupun pimpinan DPR kompak menyatakan belum menerima nama calon. Di titik inilah muncul dugaan bahwa isu ini sengaja “dilepas” untuk menguji reaksi publik dan elite politik.
Jika respons positif, Presiden tinggal mengirimkan surpres dalam waktu singkat. Jika kontroversial, isu bisa ditarik kembali seolah tak pernah ada. Inilah strategi klasik politik kekuasaan: melempar bola panas tanpa harus memegang tanggung jawab penuh.
Apakah benar Dedi Prasetyo akan menjadi Kapolri selanjutnya? Jawabannya belum tentu. Namun yang jelas, isu ini menunjukkan bahwa pergantian Kapolri lebih dari sekadar urusan internal kepolisian. Ia adalah bagian dari strategi Presiden dalam mengatur stabilitas politik dan arah kebijakan negara.
Bagi publik, yang perlu diwaspadai bukan hanya siapa yang duduk di kursi Kapolri, tapi juga pesan politik apa yang dibawa oleh pergantian tersebut. Sebab pada akhirnya, Polri bukan hanya alat penegak hukum, tapi juga instrumen penting dalam menjaga atau justru mengendalikan dinamika demokrasi Indonesia.
Lp: Galang
