Makassar || Daftar Hitam News.Id — Wartawan lokal, terutama yang bergerak di media independen dan berbasis daerah, selama ini hanya dianggap sebagai alat publikasi sesaat. Mereka dicari saat pejabat butuh sorotan, dipanggil saat acara seremonial, lalu dilupakan begitu lampu kamera padam. Pemerintah dan para pemilik kekuasaan seperti hanya tahu satu kalimat: “Mana medianya?”—bukan “Apa kabar para wartawannya?” Senin 19/5/25.
Hampir di seluruh profesi wartawan media lokal, kenyataan ini bukan sekadar keluhan, tapi kenyataan pahit yang terus berlangsung. Mereka menulis berita tentang rumah warga miskin yang nyaris roboh, padahal atap rumah mereka sendiri bocor, dinding lapuk, dan lantai becek ketika hujan datang. Tapi tak pernah terdengar ada program “bedah rumah” untuk wartawan.
Saat masyarakat menangis karena ketidakadilan, mereka menelepon wartawan. “Tolong bang, beritakan! Biar ada yang bantu.” Wartawan turun tangan tanpa pamrih, tanpa uang bensin, tanpa jaminan imbalan. Tapi coba wartawan yang sakit, keluarganya butuh bantuan, atau motornya mogok di jalan—adakah pejabat yang bertanya kabar?
Lebih miris lagi, untuk menulis kisah pilu rakyat, wartawan harus merogoh kocek sendiri. Bensin motor tua, kamera hasil pinjaman, dan mie instan sebagai ganti makan siang. Hanya agar berita bisa tayang, dan semoga ada bantuan untuk rakyat. Bukan untuk dirinya. Wartawan terlalu sering jadi penyalur keajaiban bagi orang lain, padahal mereka sendiri hidup dalam ketidakpastian.
Tapi anehnya, negara ini seolah tuli terhadap jeritan wartawan. Tidak ada skema perlindungan yang layak, tidak ada tunjangan kesehatan, tidak ada perhatian. Wartawan dianggap kuat, karena mereka tidak pernah menangis di depan umum. Tapi sampai kapan pahlawan informasi harus bertahan dengan peran yang hanya dianggap penting saat pesta dan dilupakan saat bencana?
Pemerintah, kalau memang masih punya rasa, cobalah tengok mereka yang selama ini menjaga marwah informasi. Mereka bukan sekadar pencatat seremoni atau peliput lomba makan kerupuk. Mereka adalah tiang demokrasi yang tergerus pelan-pelan oleh ketidakpedulian.
Jangan hanya datang ke media saat ingin tampil baik. Jangan hanya sebut nama wartawan saat kutipannya dibutuhkan. Mulailah memanusiakan mereka. Jangan biarkan wartawan lokal mati pelan-pelan, karena terlalu lama menulis kisah orang lain tanpa pernah bisa menulis nasibnya sendiri.
Wartawan bukan robot. Mereka bukan makhluk tak berperasaan. Mereka lelah, mereka lapar, mereka butuh dihargai. Tapi selama pemerintah hanya butuh media, bukan manusianya, maka bersiaplah: suatu saat suara rakyat akan benar-benar hilang. Bukan karena tak ada yang peduli, tapi karena mereka yang bersuara sudah kehabisan daya.
Lp:Galang