Pare-Pare || Daftar Hitam News.Id — Viralnya pemberitaan terkait vonis bebas kasus pencabulan yang terjadi di kota pare-pare yang mana terduga pelaku pencabulan di bawah umur (AJ) di nyatakan tidak terbukti dan divonis bebas oleh Hakim pengadilan negeri pare-pare.
Setelah terdakwa kasus perkara pencabulan di bawah umur ini di vonis bebas oleh Hakim pengadilan negeri pare-pare, pihak kejaksaan melakukan upaya hukum dengan mengajukan Kasasi ke tingkat Mahkamah Agung (MA) tapi kasasi dari kejaksaan negeri pare-pare ini di tolak oleh Mahkamah Agung.
AJ yang telah mendapatkan vonis bebas dari Hakim Pengadilan Negeri pare-pare serta kasasi dari pihak kejaksaan ke tingkat MA di tolak, keluarga dari terdakwa bersama dengan pamannya Yusuf melakukan pelaporan ke Polda Sulsel.
Keluarga Terdakwa (AJ) melaporkan Kapolres pare-pare, kasat reskrim, kanit dan Penyidik PPA polres pare-pare ke Wassidik Polda sulsel, serta melaporkan pula orang tua korban Yusriadi Lakmar sebagai pelapor dalam perkara ini.
“Laporan kebagian Wassidik Polda Sulsel. Yang dilaporkan kapolres, kasatreskrim, kanit, dan penyidik PPA” Papar Paman Jamil, Yusuf. Seperti dilansir di detikSulsel.
Menyikapi polemik yang terjadi tersebut, Andi Raja Nasution, SH., MH yang juga berprofesi sebagai pengacara, menanggapi bahwasanya perkara pidana ” Pencabulan anak dibawah umur” yang mana terdakwa AJ telah divonis bebas oleh pengadilan negeri pare-pare, mengenai hal itu tentunya penyidik yang menangani perkara tersebut kurang memperhatikan kualitas alat bukti sebagaimana yang di tentukan KUHAP, begitu pula halnya dengan penuntut umum yang menyatakan berkas perkara tersebut telah lengkap baik secara formil dan materil (P.21), sebab pembuktian perkara pidana, ” bukti bukti harus lebih terang daripada cahaya “, dengan demikian maka alat bukti bukan hanya di nilai dari konteks kuantitas pemenuhan 2 (dua) alat bukti berdasar KUHAP semata, melainkan harus pula menilai kualitas alat bukti tersebut.
Andi Raja Nasution mengatakan ada beberapa tahapan dalam proses penetapan tersangka terhadap orang yang sebagai terlapor dan telah dilaporkan oleh pelapor baik itu tindak pidana umum ataupun tidak pidana perdata.
Dalam Ilmu Hukum itu ada dua kamus undang-undang yang tidak bisa dilepaskan satu sama lain yang mana kedua kamus undang-undang ini adalah sebagai pedoman dalam menerapkan serta menjalankan hukum yang berkeadilan di negara ini.
Kedua kamus undang-undang itu adalah KUHP dan KUHAP dan semua penegakan hukum harus melalui proses kedua Kamus ini.
Jadi dalam melakukan proses penetapan tersangka terhadap terlapor itu ada beberapa proses yang harus dilakukan oleh pihak kepolisian dalam menindak lanjuti sebuah laporan masyarakat.
Yang pertama itu pihak kepolisian harus melakukan proses LIDIK pada sebuah pelaporan masyarakat, apakah pelaporan itu adalah sebuah peristiwa atau tidak, setelah hasil lidik itu memastikan bahwa itu adalah suatu peristiwa yang harus di tingkatkan ke tingkat selanjutnya yaitu Penyidikan.
Jika sudah sampai ke tingkat SIDIK, maka dari proses ini sudah ada calon tersangka dan penyidik melakukan pengumpulan alat-alat bukti dan saksi untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka dan dalam menetapkan seseorang ke tingkat tersangka itu harus memiliki dua alat bukti yang sah sesuai pasal 184 KUHAP ayat(1).
Sebelum penyidik mentersangkakan seseorang,penyidik melakukan gelar Perkara dan hasil gelar itu adalah pendapat penyidik dan dari situ penyidik memiliki pertimbangan subjectif dan obyektif, apakah terkait tersangka perlu dilakukan penahanan atau tidak, jika penyidik berkeyakinan bahwasanya tersangka ini tidak melarikan diri maka penyidik tidak perlu melakukan penahanan tetapi jika penyidik khawatir bahwasanya tersangka akan melakukan melarikan diri maka penyidik melakukan penahanan.
Sebelum melakukan penetapan tersangka penyidik wajib mengirimkan SP2HP ke kejaksaan dan SP2HP itu ada dua, SP2HP (Umum) yang mana SP2HP ini belum mencatut nama tersangka, hanya sifatnya pemberitahuan saja bahwasanya kami telah melakukan kegiatan seperti ini dan SP2HP yang kedua sudah mencatut nama tersangka dan pihak dari kejaksaan memerintahkan satu orang Jaksa yang mana Jaksa tersebut bertugas memeriksa kelengkapan berkas-berkas secara formil dan materil dari penyik dalam hal mentersangkakan seseorang yang mana dalam hal ini disebut P16.
Setelah Jaksa telah memeriksa berkas dari penyidik dan melihat pasal yang diterapkan terhadap tersangka sudah dianggap benar menurut jaksa, maka keluarlah yang namanya SP21 dan SP21 ini ada dua yaitu SP21(a) yang mana berkas dinyatakan lengkap secara formil dan materil maka setelah itu terbitlah SP21 (b) yang mana SP21 ini adalah penyerahan tersangka dan barang bukti ke kejaksaan negeri yang dimana dalam proses ini di sebut Tahap dua.
Setelah penyerahan tersangka dan barang bukti ke Jaksaan, maka jaksa membuatkan yang namanya RENDAK (Rencana Dakwaan) dan diajukan ke pengadilan untuk di gelar persidangan terhadap terdakwa tersebut.
Jadi yang paling salah dalam proses penyidikan itu jika seseorang terdakwa bebas dalam persidangan yang digelar dalam suatu perkara, adalah jaksa penuntut umum (JPU) dimana jaksa penuntut umum ini telah berani mengeluarkan surat yang berisi bahwa berkas itu di nyatakan lengkap,dimana perkara ini tidak memenuhi unsur atau alat bukti yang memenuhi syarat untuk di gelar persidangan.
Pihak kepolisian itu hanya bertugas melakukan proses lidik ke penyidikan serta mengumpulkan alat-alat bukti, serta saksi dan selanjutnya menyerahkan ke pihak kejaksaan, dan kejaksaan lah yang menentukan bahwasanya apakah perkara ini layak untuk di tingkatkan ke tingkat persidangan atau tidak, jadi kesalahan ini jangan dilimpahkan ke kepolisian sepenuhnya tapi di kejaksaan juga.”Jelas Andi Raja Nasution. Kamis 7/11/24.
Terkait pernyataan kapolres pare-pare yang menyatakan bahwasanya anggotanya sudah sesuai SOP ada benarnya juga, tetapi kemungkinan besar dalam proses SOP itu biasanya ada kekeliruan dalam penerapannya jadi wajar juga jika terdakwa melaporkan penyidik tersebut ke Wassidik.
Dan juga pernyataan dari kasi intel kejaksaan negeri pare-pare dalam hal perkara pencabulan anak dibawah umur ini mengatakan jika alat bukti yang di tampilkan dalam persidangan tersebut itu, pihak kejaksaan (JPU) berkayinan bahwa itu sah. “iya itukan menurut keyakinan dari kejaksaan negeri pare-pare tapi kenyataan nya Hakim yang memimpin persidangan dalam perkara ini, memvonis bebas terdakwa berarti apa yang di tampilkan oleh pihak kejaksaan dalam persidangan tersebut dianggap lemah atau terjadi kekeliruan didalam proses nya.
Apalagi upaya kasasi dari kejaksaan negeri pare-pare ke tingkat Mahkamah Agung (MA) telah di tolak oleh MA, jadi apalagi yang perlu di perdebatkan dalam perkara ini, kan sudah jelas bahwasanya dalam proses perkara kasus pencabulan anak dibawah umur yang terjadi di kota pare-pare ini ada kekeliruan dalam prosesnya.
Jadi saran saya kepada terdakwa yang telah divonis bebas oleh hakim pengadilan negeri pare-pare untuk melakukan langkah hukum yang namanya PEMULIHAN NAMA BAIK, dan Ganti Rugi selama terdakwa ditahan selama 6(Enam) bulan lamanya dan itu sudah di atur dalam KUHAP.
Lakukan Gugatan ke Pihak Kepolisian Polres Pare-pare dan juga ke kejaksaan negeri pare-pare, agar apa yang menjadi Hak terdakwa selama proses dalam perkara yang telah di tuduhkan kepada nya dapat dia dapatkan.
Lp: galang